Nirmala Sari Zahiroh Wilujeng
Pelajar SMA Muhammadiyah 2 Surabaya
Tahun 2803, kondisi bumi sudah tidak layak huni. Hutan-hutan telah gundul. Lautan penuh dengan sampah hingga airnya beracun. Sungai sudah digantikan dengan busa-busa putih. Hampir semua ekosistem alami bumi hancur keseimbangannya. Suhu bumi juga meningkat drastis karena lapisan ozonnya banyak terkikis. Dengan kondisi seperti ini, para ilmuwan mengatakan bahwa waktu bumi hanya bersisa sekitar 10 tahun dengan kondisi seperti itu. Setelah 10 tahun, kondisinya akan semakin tidak bisa dibayangkan. Telah diperkirakan tak akan ada makhluk hidup yang bisa bertahan.
Bumi masih bisa diselamatkan, ada dua cara. Cara pertama adalah menanam kembali pohon, membersihkan laut dan sungai, serta menata ulang ekosistem alam sesuai dengan tempatnya yang sebelumnya. Tetapi cara ini tidak efektif, karena membutuhkan waktu yang lama melebihi 10 tahun, tentu kehidupan akan musnah terlebih dahulu. Cara ini jelas tidak efektif bila ingin menyelamatkan bumi. Terlebih, hal-hal ini sudah diurus oleh pemerintah dan rakyat sipil tidak boleh ikut campur.
Cara kedua mungkin terdengar mustahil bagi banyak orang, yaitu kembali ke masa lalu dan menghilangkan faktor-faktor yang membuat kondisi bumi menjadi seperti ini. Karena terdengar seperti teori gila, banyak yang tidak setuju. Namun, kondisi bumi semakin mengkhawatirkan. Para ilmuwan percaya hanya ini cara terbaik untuk menyelamatkan bumi.
“Kita harus melanjutkan proyek mesin waktu yang terbengkalai 2 tahun lalu itu! Aku percaya, tinggal sedikit lagi kita bisa menggunakan mesin waktu itu,” ucap Qiel, seorang ilmuwan muda yang memimpikan dunia di mana umat manusia bisa bermain-main di pantai, berternak, mendaki gunung, atau sekedar bernafas dengan udara sehat tanpa alat bantu.
“Kau tidak usah banyak bicara, kau tahu sendiri kenapa proyek itu dibekukan oleh pemerintah,” balas Mika getir. Ia kemudian sedikit membanting cangkir kaffenya lalu memijat pelan kepala sekitar tulang bajinya.
“Selain itu, memangnya kau tahu apa tentang proyek itu? Mentang-mentang kau adik dari Qael yang memimpin proyek itu kau jadi serba tahu. Bila ada orang yang paling tahu tentang proyek itu setelah Qael, orang itu adalah aku,” Qiel berdiri dari tempat duduknya, lalu mulai memasang mantelnya berniat meninggalkan ruang diskusi laboratorium itu. “Jangan lupa juga, ledakan dari ruang laboratorium kakakmu itu yang membuatnya meninggalkan kita,” lanjutnya.
“Aku tak pernah lupa kenapa kakakku yang malang itu meninggal, karena itu aku tak akan pernah menyerah pada mimpinya. Hanya karena ia sudah tiada mimpi umat manusia untuk mengembalikan kondisi bumi seperti sediakala ikut lenyap. Apa kau tidak ingin merasakan makanan dan minuman orang-orang terdahulu yang bervariasi alih-alih cairan dan bubur putih yang menggunakan perasa dan gizi artifisial seperti yang kau minum?” ujar Qiel dengan suara surau karena mengingat kematian kakaknya. “Aku tahu betul, kau adalah partner terbaik kakakku. Tak ada hari di mana ia tidak membicarakan hebatnya dirimu.
Karena itu aku perlu bantuanmu untuk melanjutkan proyek ini,” lanjut Qiel pelan.
Mika terlihat tak peduli, ia mengeratkan mantelnya dan berjalan menuju pintu keluar. Tetapi langkahnya terhenti saat Qiel berteriak dengan suara serak, “Apa kau tahu Mika!? Kau jelas tidak melihat kondisi mayat kakakku. Dia tidak meninggal karena ledakan itu! Aku tak melihat sedikitpun bekas ledakan di badannya!”
Mika segera berbalik, menatap Qiel tak percaya. Yang ditatap segera membuka ponsel pintarnya dan menunjukkan foto mayat kakaknya. Tubuh yang seharusnya penuh gosokan hitam dan luka bakar akibat ledakan tak terlihat, melainkan justru kuku-kuku jarinya telah hilang dan giginya tak bersisa satupun. Mika tercengang, “Kenapa kau tak pernah memberitahuku…?” ucapnya dengan suara berat seperti seribu pisau menghujamnya. Qiel hanya mejawab, “Kau tak pernah bertanya, dan aku kira kau sudah tahu.”
Mika menanggalkan mantelnya, tak jadi meninggalkan ruang diskusi laboratorium itu. Ia segera membuka lokernya lalu mengambil beberapa berkas. Dilontarkannya berkas itu ke maja hadapan Qiel. “Baca itu, kau akan lebih paham mengenai proyek mesin waktu itu,” ucap Mika sembari sibuk mencari-cari sesuatu di lokernya.
Tak lama kemudian, Mika memberi dokumen profil orang-orang yang ikut andil dalam proyek mesin waktu ke Qiel. “Bila kau ingin proyek ini lancar, harus ada Isha di tim ini. Ada alamat dan nomor untuk menghubunginya. Oh iya, bila kau ingin keberhasilan dari proyek ini meningkat, setidaknya kau ajak lagi satu orang yang ada di antara dokumen ini,” jelas Mika. “Kita akan segera mulai proyeknya setelah kau mengajak Isha dan satu orang lagi, mungkin akan susah mengajak mereka karena kejadian yang menimpa Qael,” lanjutnya.
Keesokan harinya, Qiel mulai meninggalkan kota tempat tinggalnya yaitu Athena, menuju ke Aegaeus atau yang biasa dikenal sebagai dunia bawah. Sejak perang nuklir yang terjadi di negaranya, Arcadia, tersisalah dua kota yaitu, Athena dan Aegaeus. Sebenarnya, sejak kondisi alam bumi mulai rusak yang diperparah dengan perang internal maupun eksternal negara, banyak negara yang hancur dan bila beruntung mungkin di negara itu akan tersisa satu atau dua kota. Menurut data internasional hanya tersisa 9 negara di bumi, termasuk negara yang ditinggali Qiel.
Sudah lama sekali sejak Qiel menjejakkan kakinya di Aegaeus. Seingatnya ia terakhir kali ke sini adalah saat diajak ayahnya untuk membantu sang ayah mengobati wabah yang merebak di Aegaeus, itu saat ia berumur sekitar 13 tahun. Dia berjalan dengan perlahan, khawatir salah mengambil jalur.
Sembari melangkah, matanya melirik kanan-kiri. Banyak sampah berserakan, genangan-genangan air akibat jalan yang rusal, sisa-sisa makanan yang warnanya tidak menggugah selera juga terlihat. Tak hanya itu, udara di sana terasa sangat pengap hingga rasanya Qiel tidak bisa bernapas. Tatapan dingin orang-orang di jalanan membuat Qiel bergidik ngeri. Bila Athena dikatakan sebagai kota yang buruk, maka Aegaeus 10 kali lipat lebih buruk.
Setelah berjalan sekitar 20 menit, Qiel akhirnya berdiri di depan sebuah toko kecil. Ia menghampiri toko itu lalu mengamatinya. Penjaga toko itu segera menyambutnya dengan senyum menghiasi wajahnya, “Selamat datang di toko Dinasti, apakah ada yang bisa dibantu?” ucapnya ramah. Qiel membalas dengan senyumnya, “Ah, aku sedang mencari seseorang.” Air muka penjaga toko itu tiba-tiba berubah, cara bicaranya pun menjadi berhati-hati seolah sedang menjadi buronan, “Siapa yang kau cari itu?” Tanpa ragu, Qiel menjawab, “Aku sedang mencari Vanya, kudengar dia tinggal di sini.”
“Itu aku. Dilihat dari cara berpakainmu bisa dibilang kau berasal dari Athena dan aku yakin kau di sini untuk mengajakku mengerjakan proyek abal-abal itu. Jangan harap aku akan menerima ajakanmu,” ujar Vanya ketus. Qiel kaget, pikirannya kalut. Dia pikir dari 4 daftar orang yang diberikan Mika kemarin Vanya adalah yang paling ramah dan bersemangat tentang proyek mesin waktu itu. Ia juga tak menyangka bahwa Vanya merupakan penjaga toko itu karena penampilannya yang berubah banyak. Dari yang awalnya memiliki rambut panjang hitam legam, dipotong menjadi pendek serta ada highlight warna kuning di ujungnya.
“Tu- tunggu!” tahan Qiel saat melihat Vanya akan masuk ke dalam tempat tinggalnya. “Setidaknya apakah aku boleh tahu kenapa kau tak ingin bergabung dengan kami? Dari yang kubaca di profilmu kau adalah orang yang paling semangat mengenai proyek ini,” tanya Qiel penuh rasa penasaran.
“Aku tahu kau adalah adik dari Qael. Kuberi tahu saja, alasan aku melakukan semua itu adalah karena Qael, dan sekarang ia telah tiada jadi tidak ada gunanya,” ucap Vanya pasrah.
“Bagaimana bisa tidak ada gunanya??!” balas Qiel kesal dengan sifat pesimis Vanya. “Mimpinya telah terbakar bersamanya,” jawab Vanya sembari mendongakkan wajahnya ke atas berusaha menahan air mata.
“Tidak! Mimpi Qael tidak akan musnah selamanya selama ada kita yang mempunyai impian sama. Selama kita tidak menyerah, mimpi Qael tidak akan musnah, mimpi itu akan tetap ada di hati kita,” bantah Qiel dengan mengepalkan tangannya.
“Haha, pikiranmu tidak ada bedanya dengan kakakmu dulu. Tapi, apa kau pikir aku akan jatuh ke ucapan yang sama dua kali?” ujar Vanya dengan tertawa kecil.
“Aku tidak akan berpikiran senaif itu, tapi yang aku tahu pasti. Bila proyek mesin waktu ini berhasil, nasib Aegaeus tak akan seperti ini dan kau bisa mengobati adikmu yang sakit,” ucap Qiel. “Bila kau menerima ajakanku, aku akan menyediakan tempat perawatan untuk adikmu agar kau tak perlu mengkhawatirkannya lagi dan bisa fokus ke proyek,” lanjut Qiel.
Hati Vanya seperti terkena sengatan listrik saat Qiel menyebut adiknya, terpikir di benaknya bila bumi kembali ke kondisi sedia kala, penyakit yang diderita adiknya bisa sembuh. Setelah terlihat berpikir keras, Vanya akhirnya luluh dan menerima ajakan Qiel.
“Baguslah! Kalau begitu, besok jam 8 pagi kita berkumpul di laboratorium Athena ya,” ujar Qiel senang.
Qiel pun bergegas naik ke Athena. Ia berniat mencari Isha hari itu juga agar proyek bisa dimulai lebih cepat. Langkah kaki Qiel berhenti di depan sebuah bangunan mewah bak istana bercorak arsitektur Inglish. Dihampirinya pos satpam bangunan megah itu.
“Permisi, apakah Isha sedang di rumah?” Tanya Qiel dengan sedikit takut melihat tampang satpam yang seram itu, padahal dia sudah sering mampir ke rumah itu tapi dia masih merasa sedikit takut. “Yang Mulia sedang tidak ada di rumah,” jawab satpam itu dengan tegas, Qiel segera mengucapkan terima kasih dan bergegas kembali ke laboratorium.
Saat masuk ke dalam laboratorium, Qiel melihat Mika sedang mengutak-atik mesin waktunya.
“Hey!!” Panggil Qiel, yang dipanggil hanya menoleh dan melambaikan tangannya lalu kembali sibuk dengan musim waktu itu.
“Aku tadi menemui Vanya dan dia menyetujui untuk turut serta dalam proyek ini… dan untuk Isha, dia sedang tidak ada di rumahnya, jadi aku belum tahu dia setuju untuk ikut atau tidak,” ujar Qiel.
“Uh, untuk Isha biar aku yang mengurus saja, aku lupa memberi tahumu kemarin,” ujar Mika sembari menepuk kepalanya, “Sekarang masalah kita tinggal satu, persetujuan pemerintah,” lanjutnya dengan ekspresi sedikit frutrasi.
Qiel menepuk tangannya seolah telah mendapat ide cemerlang, “Ah, tak perlu khawatir! Aku bisa minta bantuan Methelyne untuk mengurus itu.”
Mika pun menghela napas lega, “Baiklah, proyeknya akan kita mulai besok jam 8 pagi seperti kesepakatan kita ya.”
Keesokan harinya Qiel, Mika, Vanya, dan Isha berkumpul di laboratorium seperti yang dikatakan kemarin. Mereka segera bergegas melanjutkan penyempurnaan mesin waktu itu agar bisa digunakan. Beruntung ada Vanya dan Isha yang mengerti mekanik mesin waktu. Diperkirakan mesin waktu itu bisa diselesaikan dalam satu minggu saja.
“Fiuh, tadi lumayan rumit juga,” Qiel mengusap dahinya. “Baik, kita akan melanjutkan penyempurnaan mesin itu besok. Sekarang adalah saatnya membahas apa saja yang perlu dilakukan saat kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan bumi sekarang,” ujar Qiel.
“Menurutku, karena penggunaan senjata nuklir di perang dunia III, isu-isu alam bertambah banyak. Jadi, kita harus mengeleminasi pemimpin dari negara-negara yang menggunakan nuklir itu,” ucap Isha dengan wajah serius.
“Lumayan masuk akal, karena faktor lain seperti pabrik-pabrik dan penggunaan CFC tidak mampu kita hilangkan. Tapi bagaimana cara melakukan pembunuhan terhadap pemimpin negara ini, apalagi negara seperti Aberika, Jepan, dan Koliya Utara,” balas Vanya.
“Bila ingin mengeleminasi pemimpin-pemimpin negara itu, mungkin kita bisa menyewa petugas keamanan dari Athena, atau bila kalian mau, kita bisa menggunakan alat teleportasi untuk berpindah cepat agar bisa membunuh pemimpin negara itu,” usul Mika.
“Kita tak bisa melibatkan terlalu banyak orang karena efek samping dari mesin waktu ini, mungkin kita bisa menggunakan alat teleportasi seperti kata Mika tadi,” tambah Qiel.
Isha mengusap dagunya, “Benar juga, aku setuju dengan penggunaan alat teleportasi itu.” Vanya mengangguk, tanda setuju.
Seminggu setelahnya, mesin waktu itu telah diuji coba dan bisa digunakan. Mereka bermpat menggenggam mesin waktu yang sudah dikompresi bentuknya menjadi koper,
“Ingat, tujuan kita hanya membunuh negara yang paling berpengaruh yaitu, Aberika, Jepan, Koliya Utara, dan Kussia,” ujar Qiel, yang lain mengangguk mantap.
Mereka berempat segera menekan tombol yang ada di gagang koper itu sehingga terbuka portal. Mereka memasuki portal masing-masing. Menurut diskusi yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya, mereka harus kembali sebelum 30 menit. Menurut Mika sendiri, kemungkinan operasi ini berhasil adalah 80%, karena kekuatan manusia tahun 2803 lebih kuat dari manusia tahun 2030. Ini merupakan efek dari bubur putih itu. Meski rasanya artifisial, bubur ini mengandung banyak nutrisi.
Pukul 00.10, 10 menit telah berlalu dan Vanya sudah kembali. Disusul oleh Qiel 5 menit kemudian. Tak lama kemudian, Isha telah kembali. Lalu, tersisalah Mika. Qiel mulai panik, waktu yang tadinya 30 menit itu sekarang tersisa 5 menit. Bila Mika tak segera kembali, ia bisa terjebak di tahun 2030, “Bagaimana ini…,” ucap Qiel dengan nada khwatir. Isha menepuk pelan pundaknya, “Mika pasti berhasil, dia akan kembali,” ujarnya. Dan benar, 2 menit kemudian Mika tiba. Ketika dating, Mika segera meraih ponsel pintarnya untuk memastikan sesuatu. Ditatapnya sebentar layar ponsel pintar itu, ia pun tertawa keras seperti seorang maniak.
“Huh, aku sudah khawatir padamu karena waktu yang tersisa adalah 1 menit, tapi saat kau kembali tiba-tiba saja tertawa sendiri,” Qiel menyilangkan lengannya di dada.
Mika menyodorkan ponsel pintarnya kepada Qiel. Wajah Qiel membeku. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Terlebih, mereka berempat telah mengotori tangan mereka tapi tak ada perubahan apapun.
Isha bertanya dengan khawatir, “Apa yang terjadi?” Mika menunjukkan ponsel pintarnya ke Isha dan Vanya, terlihat headline berita ‘Kepunahan manusia semakin dekat, angka bunuh diri meningkat’. Isha dan Vanya menghela napas berat. Mereka berempat kalut. Vanya berteriak kencang sedangkan
Qiel tiba-tiba berdiri seperti telah menyadari sesuatu, “Aku tahu… selama ini aku salah, aku terlalu terpaku pada kakakku hingga terobsesi untuk melanjutkan proyek ini,” Qiel membuang napasnya, “Yang selama ini membuat keadaan kita menjadi seperti ini adalah pihak pemerintah, merekalah yang selalu menyimpan sumber daya untuk manusia, mereka membangun pabrik, mereka mendoktrin kita bahwa kita adalah korban dari generasi sebelumnya. Tapi, selama ini merekalah yang paling bersalah dalam kerusakan bumi ini. Bila mereka tak menyetujui pengoperasian pabrik-pabrik yang tidak memenuhi standar,” jelas Qiel.
Raut wajah Mika berubah, ia terkejut dengan penjelasan Qiel mengenai pemerintah. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan khawatir.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan,” timpal Vanya. “Adikku juga tidak akan bisa bertahan,” lanjutnya dengan wajah kesal, sedih, dan frustrasi bercampur aduk menjadi satu.
“Yeah, tidak mungkin kita bisa melawan pemerintah sekarang, yang ada kita yang diburu,” ujar Isha dengan nada pasrah. Isha kemudian medudukkan dirinya di lantai. Ia sudah pasrah dengan keadaannya, menerima bahwa bumi akan hancur 10 tahun lagi.
“Tidak! Aku tahu cara agar kita bisa menghentikan ini. Aku akan pergi ke kantor pemerintah sekarang juga,” bantah Qiel. Ia pun segera berlari meninggalkan ruang laboratorium dan pergi ke gedung pemerintahan. Mika sebenarnya sudah berusaha menahan Qiel tetapi ia gagal.
Qiel tiba di depan kantor pemerintahan dengan napas terengah-engah. Terlihat Methelyne sedang berdiri di dekat pintu masuk, Qiel pun menghampirinya, “Hai, Lyne. Bisakah kau membantuku bertemu dengan kepala pemerintah?” tanya Qiel dengan napas yang memburu. Dengan senang Methelyne menyambutnya, “Tentu saja!” Methelyne segera mengantar Qiel ke lantai paling atas gedung pemerintahan. “Sebenarnya kau mau melakukan apa?” tanya Methelyne penasaran.
“Aku ingin bernegoisasi dengan pak Hartoso tentang kebijakan-kebijakannya,” jawab Qiel dengan bisikan.
“Hah? Untuk apa?” tanya Methelyne dengan nada terkejut.
“Mengobati kondisi bumi dengan proyek mesin waktu itu gagal,” ujar Qiel pelan agar taka da orang lain yang mendengar. “Aku terlalu terpaku dengan kakakku hingga menghiraukan intuisiku yang berkata bahwa dalang dari semua ini adalah pemerintah kita sendiri. Pemerintah tidak memperbolehkan rakyat sipil ikut campur dengan perawatan bumi karena mereka memang ingin menghancurkan bumi. Mereka pasti sudah mencuci otak seluruh rakyat Athena dan Aegaeus,” lanjutnya sembari memijat pelat kepalanya.
“Aku seharusnya tak percaya pada pemerintah karena mereka yang telah membunuh kakakku, karena tidak ada yang menentang proyeknya kecuali pemerintah,” raut wajah Qiel terlihat kecewa. “Tapi aku percaya padamu. Meski kau pasukan elit pemerintah, kau tetap orang yang paling kupercayai dan sangat berarti bagiku,” Qiel menatap Methelyne dalam-dalam dengan senyum khasnya.
“Terima kasih, Lyne. Telah mendukungku selama ini,” Qiel tersenyum.
DOR. Suara tembakan lepas. Pelatuk pistol telah ditarik oleh Methelyne. “Maafkan aku Qiel, aku tak ingin membunuhmu maupun kakakmu. Tapi ini tugasku untuk menghilangkan orang yang mengetahui rahasia pemerintah. Maafkan aku,” ujar Methelyne dengan air mengalir dari pelupuk matanya.
“A… ku… tak me- nyang… ka… ini,” ucap Qiel terbata, napasnya hampir habis. “Te… rim… kha- sih un.. tuk- sem.. a me- ki.. kh- au.. be.. gi- ni… ja- han.. bu.. nuh Mi.. a dan yang.. la- in,” ucapnya lagi sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Methelyne memapah mayat Qiel dengan menangis tersedu-sedu tanpa bisa melakukan apa-apa karena itu sudah menjadi tugasnya.
Tamat.*^*