■imamrobandi
Eagle flies alone
Tontonan yang sangat menarik, Ki Seno Nugroho mendalang di rumah Ki Anom Suroto, adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Pakeliran padat gaya Jogja disajikan di depan para dalang yang beraliran gagrag Solo. Ini adalah luar biasa dan spektakuler dengan cerita Mbangun Candi Sapto Argo yang sangat heroik. Yang dibuka dengan ayak mataraman dengan kombangan-kombangan khas Jogjakarta telah membuat pagelaran malam itu nges-nges hening dan berwibawa. Wayang menceritakan ‘wolak-walik ndunya kasunyatan’ yang menggambarkan ribuan polah manusia dari berbagai kejadian dan keadaan.
Okey kita tinggalkan tentang wayang kulit. Menurut berita, ada mahasiswa yang mengundurkan diri, katanya mereka takut dengan UKT. Bagaimana mereka tidak takut, orangtuanya adalah buruh tani, nelayan, tiba-tiba terkena sambaran UKT yang jutaan, dijamin seperti terkena puting beliung. Di belahan lain ada banyak rektor yang sedang mumet, karena tuntutan mengejar ranking ini itu. Dah…, jalankan sesuai misi dan visinya saja, insyaAllah akan sesuai dan selaras dengan tujuan. ‘Ora usah nggagas werno-werno’, ranking-rankingan, belum tentu sesuai dengan tujuan dan kebutuhan ‘universitas panjenengan’ dalam melayani ummat, masyarakat, dan bangsa. Itu adalah jawaban saya untuk menentramkan pertanyaan seorang rektor yang sedang gelisah ‘uber-uberan kehebatan’, beberapa bulan yang lalu. Di negeri Manahilan pernah ada seorang anak muda yang ditawari gelar doktor honoris kausa, dan dia berkonsultasi ke saya. Kamu masih muda kok senengnya ‘honoris, honoris’, jawab saya. Kamu ikhtiyar maksimal saja dululah, sekolah doktor, kerja keras jatuh bangun seperti mahasiswa doktoral yang lain. Kamu akan merasakan secara ‘beneran’ betapa nikmatnya kelebatan Gunung Merbabu dan betapa indahnya gelombang Laut Kidul. Nanti kalau sampai umur tujupuluhan kamu masih tetap belum memperoleh, ya apa boleh buat, honoris itu terima saja.
Bumi Indonesia berputar terus dan terus berputar. Apa saja bergerak ke sana ke mari dan terus dibicarakan. Sebelum Eid Adha, ada yang sudah mengikat kambingnya di tiang listrik, dan ternyata pagi hari saat akan disembelih mas kambing sudah pergi entah ke mana, dan katanya pulang ke rumah asalnya di dusun Pronojawi, atau mungkin karena tidak disediakan rumput. Si empunya sibuk karena harus membeli lagi hewan qurban via online atau COD dan membuat janjian bertemu di terminal angkutan desa. Memang menjadi menarik, karena hewan yang sudah diikat masih dapat melepaskan diri. Ha…, ha…. seperti buronan saja, yang ‘mahasakti’, yang sampai sekarang tidak dapat ditemukan. Belum lagi saya mendengar ada sapi yang kecebur sumur, padahal itu juga untuk hewan qurban, sehingga yang empunya harus menyewa alat berat. Saya juga sudah kehilangan berita tentang hewan sapi yang berurusan dengan Pak RT, atau mungkin malah sapinya yang harus mengalah dan menengahi masalah.
Ah itu peristiwa sudah berlalu. Minggu ini saya ingin ke Pronojiwo melewati Dampit, Tirtoyudo, Ampelgading, dan berakhir di Tumpak Sewu, yang di situ ada waterfall yang sangat indah. Rencana ini gagal karena ada banjir bandang di sebelah timur Ampelgading yang membuat jembatan Malang ke Lumajang abruk total. Ini membuat saya kecewa karena rencana ini sudah saya persiapkan cukup lama bersama kawan-kawan dari Malang Selatan, yaitu dua tahun lalu, dan menjadi sedih kok ada banjir segala yang membuat masyarakat menderita.
Pagi ini saya memanen jeruk sambal dan pohon ini sudah berumur dua puluh tahun dan sudah panen berkali-kali. Saya menanam di lahan 2x3 meter persegi dan buahnya adalah benar sangat makmur. Tanah hanya diwadahi di pot dengan pupuk ramuan versi insinyur elektro arus kuat yaitu harus membentuk gelombang tiga fase simetrik, yaitu bibit bebet bobot. Asisten dapur sudah sampai bosan karena hampir setiap minggu menyambal jeruk yang aromanya sampai menyebar ke tetangga. Memang sengaja saya menanam jeruk sambal dan cabe untuk kebutuhan sehari-hari dapur agar tidak sering ke pasar.
Hari ini hp saya penuh dengan berita perumputan. Ternyata minggu-minggu ini rumput menjadi istimewa dan masuk ke tivi-tivi sambil diotak-atik, dan yang berkomentar ‘berisik’ adalah bukan pakar rumput. Katanya tidak memenuhi ini-itu, kurang cahaya kurang sekian lux bagini bagito, dan yang lain, dan ternyata rumput menjadi primadona untuk urusan banyak hal dan kepentingan. Saya menjadi ingat rumput gajah di lereng Gunung Merapi yang tumbuh subur, dan di sana sama sekali tidak ada pejabat yang yang tertarik untuk datang beramai-ramai dan berduyun-duyun untuk memonitornya. Rumput di sana telah hidup nyaman di habitatnya tanpa terganggu oleh puluhan wartawan yang sengaja didatangkan. Saya hanya mengatakan ke rumput itu, “ayem tentrem ing desane Pak Tani”. Rumput-rumput yang dapat tersenyum pagi sampai di tempat yang loh jinawi.
Saya malah sedang berpikir sederhana, ‘mbok yao’ daripada mengotak-atik rumput FIFA, apa tidak lebih baik memikirkan daerah-daerah seperti Gunungkidul dan NTT yang kering kerontang untuk dapat ditanami kurma ajwa atau ruthob agar tidak selalu import dari Thaif dan Tunisia, atau ‘ngopeni’ pohon duren-duren lokal yang rasanya masih ngalor ngidul diganti dengan duren premium yang harga satu kilo sampai menembus lima ratus ribu rupiyah untuk eksport.
Dagelan Togog-Mbilung di alam pakeliran negeri ancak-ogro. Kok yo suket to.. mas diurusi sampai njlimet-met mumet, kata cak Mbilung. Petani Desa Sukamiskin masih banyak yang pusing delapan keliling memikirkan pupuk yang harganya sering gonjang ganjing dan pas panen mumet menjual hasil panennya dan harga panen menjadi berantakan karena kalah murah dengan buah-buah import. Bakul cendol dan dawet hitam di pinggir jalan yang dagangannya tidak mesti terjual setiap hari, bakul krupuk singkong semiler dari Blora yang setiap hari berjalan kaki bersandal jepit dari stasiun Pasar Turi yang setiap hari belum tentu sampai seratus ribu rupiyah. Mereka tidur seadanya, yang penting asal ‘iyub awak ketutup’. Guru-guru honorer yang hidupnya montang-manting ‘mbok yao’ dimakmurkan, kata Kang Togog, ‘ojo mung urusan suket’, kata mbok Darmi yang dua anaknya bertahun-tahun menjadi honorer.
Saya menjadi tersenyum saat Steve Harvey bertanya pada bocah balita Tommy Johnston, ‘Tommy apa yang kamu lakukan jika kamu menjadi presiden Amerika’. Semua akan saya beri permen, jawab Tommy mantap sambil ‘nyengir suwir lucu banget’. Tommy, Tommy ada-ada saja.
Sepuluh hari yang lalu, perjalanan saya dari Gondanglegi menuju ke Kepanjen, dan di sebelah kiri ada Stadion Kanjuruhan. Di tempat itu yang tahun lalu lebih dari seratus orang meninggal, terus sampai hari ini beritanya sudah lenyap, dan yang menyopir mobil hanya tersenyum. Kata Mas Ebiet, ‘coba kita bertanya, pada rumput yang bergoyang’. Mungkin juga benar kata Mas Kempot, ‘tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki’.
July 11, 2023
Tulisan Prof. Imam selalu keren.
Saya sangat suka membaca tulisan-tulisan belisu
Betul sekali bunda Tri M, ringan dan enak dibaca.
Dan selalu ada ide
Barokallah
Semoga beliau dan semua santri beliau senantiasa segar bugar, bahagia dan penuh manfaat
Aamiin
Tulisan Prof. Imam Robandi, selalu menjadi catatan dan pemantik untuk saya, semangat belajar menulis. Terima kasih Prof. Imam Robandi, terima kasih Mbak Izzuki, dan sahabat IRotizen.
Terima kasih atas apresiasi bunda Umi
Semoga kota termasuk hamba yang beruntung dan bermanfaat untuk sesama ya
Aamiin
Wah Bu dokter cepat sigap menangkap tulisan Prof. Imam. Hehe…saya tertinggal jauh.
Hihi, begitu muncul lamgsung jin posting, hanya sayang, saat itu saya ada kegiatan lain sampai baru posting tadi malam
Hoooh. Ini kumpulan tuisan Prof. Imam kiranya..
Hahaha, tak kira tuisan Mbak dr. Ino.
Apik tenan, tapi kok Mbak dokter nggak membahasnya tho..?
Mungkin dri sudut pandang seorang dokter spesialis Patoligi ngono lhoo
belum menambahkan bunda, hihi, maafken ya
sudah kena prank
Terima kasih telah mampir
Mantaap semua, kesentil itu berarti peka. Semoga terus dapat bangkit, sehat selalu Prof Imam
Aamiin ya Robbal Aalamiinnn
Siap bunda Her
Jaman serba instan
Semua ingin langsung jadi
Seperti pas foto langsung jadi
Hahaha